Terdapat stereotip yang salah dalam memahami tasawuf, dimana dikatakan bahwa seorang sufi adalah mereka yang menjauhi dunia, mengenakan pakaian seadanya, menyepi ke tempat terpencil untuk dapat melakukan ibadah sebanyak-banyaknya, dsb.
Bahkan ada beberapa orientalis dan pemikir Muslim sendiri yang menuduh tasawuf menjadi biang kemunduran peradaban Islam. Tasawuf dituduh sebagai virus yang menghambat kemajuan dan menyebabkan ketertinggalan dunia muslim dalam kancah peradaban modern.
Apakah kaum sufi menjauhi dunia? Ya dan tidak. Ada banyak contoh tokoh sufi yang hidupnya dihabiskan dengan bermunajat kepada Tuhan, dan tidak menghiraukan urusan duniawai. Bahkan ada yang tidak berkeluarga, menyepi dari keramaian dan menikmati saat-saat intim bermunajat kepada Tuhan.
Akan tetapi ada pula tokoh sufi yang kaya raya; yang disibukkan dengan urusan kebunnya yang luas. Kita juga mengenal Muhammad al-Fatih (1432 - 1481), seorang sufi yang menjadi penguasa Utsmani dan terkenal karena berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453.
Apakah kaum sufi suka ber-uzlah dan ber-khalwat? Ya dan Tidak. Adzkiya mengajarkan: Uzlah (mengasingkan diri dari keramaian) itu lebih baik jika zaman sudah kacau balau, atau takut fitnah dunia sebagai ujian keimanan. Dari kitab Risal al-Qusyairi kita juga menjumpai sebuah petuah: Khalwat (menyendiri) adalah sifat orang-orang suci dan ‘uzlah (mengasingkan diri) adalah lambang orang yang bertauhid.
Akan tetapi kita juga mengenal Ibnu Arabi, yang bergaul erat dengan para Sultan di jamannya. Kita juga mengenal Abdul Qadir Jaelani, yang mengenakan jubah kebesaran laiknya pangeran ketika tampil di depan umum.
Jadi bagaimana kita bisa memahami berbagai fenomena di atas?
Ada sebuah keyakinan di kalangan salik (para pejalan) bahwa jalan menuju Tuhan sebanyak jumlah hamba-Nya. Mereka yang menempuh jalan ini adalah mereka yang tercerap sepenuhnya dihadapan Tuhan, bagaikan wayang yang digerakkan semaunya oleh Sang Dalang.
Sebuah analogi yang tepat dengan gagasan ini dapat kita lihat dari kata-kata Jalaludin Rumi: "Apabila satu ons cuka dilarutkan ke dalam seratus muk gula, Rasa asam itu tiada ketika engkau mencicipi gula, meskipun ia ada sebagai kelebihan ketika engkau menimbangnya. Di hadapan seekor singa, kijang menjadi tak sadarkan diri: kehadirannya hanyalah sebuah tabir bagi singa itu."
Dapat pula dikatakan bahwa ketika seseorang menempuh jalan sufi, ia tidaklah menggerakkan kakinya berjalan, melainkan "diperjalankan". Ketika seorang sufi menjauhi kehidupan duniawai, hal itu bukanlah atas kemauannya sendiri; demikian pula ketika ia menyibukkan diri dengan urusan kebun atau menjadi Sultan. Itulah jalan yang dimudahkan baginya menuju Tuhan.
Sebagaimana dikatakan dalam ayat: "Fasluki subula rabbiki zululan (Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu)) (QS. An-Nahl [16] ayat 69). Dari kata "fasluki" lahirlah istilah suluk.
Apakah kaum sufi menjauhi dunia? Ya dan tidak. Ada banyak contoh tokoh sufi yang hidupnya dihabiskan dengan bermunajat kepada Tuhan, dan tidak menghiraukan urusan duniawai. Bahkan ada yang tidak berkeluarga, menyepi dari keramaian dan menikmati saat-saat intim bermunajat kepada Tuhan.
Akan tetapi ada pula tokoh sufi yang kaya raya; yang disibukkan dengan urusan kebunnya yang luas. Kita juga mengenal Muhammad al-Fatih (1432 - 1481), seorang sufi yang menjadi penguasa Utsmani dan terkenal karena berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453.
Apakah kaum sufi suka ber-uzlah dan ber-khalwat? Ya dan Tidak. Adzkiya mengajarkan: Uzlah (mengasingkan diri dari keramaian) itu lebih baik jika zaman sudah kacau balau, atau takut fitnah dunia sebagai ujian keimanan. Dari kitab Risal al-Qusyairi kita juga menjumpai sebuah petuah: Khalwat (menyendiri) adalah sifat orang-orang suci dan ‘uzlah (mengasingkan diri) adalah lambang orang yang bertauhid.
Akan tetapi kita juga mengenal Ibnu Arabi, yang bergaul erat dengan para Sultan di jamannya. Kita juga mengenal Abdul Qadir Jaelani, yang mengenakan jubah kebesaran laiknya pangeran ketika tampil di depan umum.
Jadi bagaimana kita bisa memahami berbagai fenomena di atas?
Ada sebuah keyakinan di kalangan salik (para pejalan) bahwa jalan menuju Tuhan sebanyak jumlah hamba-Nya. Mereka yang menempuh jalan ini adalah mereka yang tercerap sepenuhnya dihadapan Tuhan, bagaikan wayang yang digerakkan semaunya oleh Sang Dalang.
Sebuah analogi yang tepat dengan gagasan ini dapat kita lihat dari kata-kata Jalaludin Rumi: "Apabila satu ons cuka dilarutkan ke dalam seratus muk gula, Rasa asam itu tiada ketika engkau mencicipi gula, meskipun ia ada sebagai kelebihan ketika engkau menimbangnya. Di hadapan seekor singa, kijang menjadi tak sadarkan diri: kehadirannya hanyalah sebuah tabir bagi singa itu."
Dapat pula dikatakan bahwa ketika seseorang menempuh jalan sufi, ia tidaklah menggerakkan kakinya berjalan, melainkan "diperjalankan". Ketika seorang sufi menjauhi kehidupan duniawai, hal itu bukanlah atas kemauannya sendiri; demikian pula ketika ia menyibukkan diri dengan urusan kebun atau menjadi Sultan. Itulah jalan yang dimudahkan baginya menuju Tuhan.
Sebagaimana dikatakan dalam ayat: "Fasluki subula rabbiki zululan (Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu)) (QS. An-Nahl [16] ayat 69). Dari kata "fasluki" lahirlah istilah suluk.
Posting Komentar
Posting Komentar