Biografi Jalaluddin Rumi

Maulana (secara harfiah bermakna “Guru Kita”) Jalaluddin Rumi atau sering pula disebut dengan nama Rumi, adalah pendiri Tarekat Maulawiyah (yakni tarekat para darwis yang berputar). Ia bernama lengkap Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri, lahir pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Meninggal pada tanggal 17 Desember 1273 M (usia: 66 tahun) dan dimakamkan di Konya, Turki.

Penyair sufi yang terkenal ini lahir dari keluarga terpandang. Ayahnya, Muhammad ibnu Hussain al-Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah seorang ulama terkemuka di Balkh dan keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sedangkan ibunya, Mu’min Khatun, berasal dari keluarga Dinasti Khawarizmi, dinasti yang berkuasa di ibukota Bukhara saat itu. Adapun Balkh, adalah salah satu kota penting, pusat intelektual dan kebudayaan Persia di jaman Dinasti Khawarizmi.

Kahadiran Rumi di dunia ini adalah pada saat dunia islam mengalami gincangan demi goncangan. Kekhalifahan Abbasiyah mulai surut, dan mengalami kehancuran total pada tahun 1258 M akibat serbuan tentara Mongol di bawah tentara Hulagu Khan.

Sementara itu di Turki, pasca pembubaran Kesultanan Rum yang dipimpin dinasti Seljuq Turki, Anatolia terpecah menjadi beberapa negara merdeka (kebanyakan Turki) yang disebut emirat Ghazi. Salah satu emirat Ghazi dipimpin oleh Osman I (1258 – 1326) dan namanya menjadi asal usul nama Utsmaniyah. Kekaisaran Utsmaniyah itu berdiri pada tahun 1299.

Itulah sebabnya, keluarga Rumi menjadi pengembara dan pengungsi. Ketika Rumi baru 7 tahun, keluarganya hijrah ke Khurasan, dan tak lama kemudian hijrah ke Nisyapur. Ketika Rumi 12 tahun, mereka hijrah ke Baghdad. Setelah beberapa lama tinggal di kota Seribu Satu Malam itu, mereka hijrah lagi ke Makkah, kemudian Damaskus, sebelum akhirnya menetap di Konya, Turki sekarang, yang ketika itu merupakan ibukota Kesultanan Seljuq.

Dalam pengembaraan dan pengungsiannya tersebut, keluarganya sempat singgah di kota Nishapur yang merupakan tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Fariduddin Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.

Sebagai pengembara, Rumi mereguk berbagai disiplin ilmu dari beberapa guru terkemuka di kota-kota tempatnya pernah tinggal. Tinggal beberapa lama di kawasan Arab, terutama Makkah dan Damaskus, dia belajar sastra Arab hingga mahir menulis puisi dalam bahasa itu. Sudah tentu dia juga belajar ilmu-ilmu Islam. Apalagi ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, adalah juga seorang ulama terpandang. Tak pelak lagi, ketika tiba di Konya, Sultan Konya yang cinta ilmu dan seni menyambut kedatangan keluarga Rumi dengan baik. Bahauddin Walad dipercaya sebagai ahli fiqih, mubalig, dan mengajar di madrasah kesultanan, hingga dia wafat di tahun 1230.

Jalaluddin Rumi segera menggantikan posisi ayahnya. Ketika itu, usianya telah mencapai 23 tahun dan dia telah menikah dan dikaruniai 2 anak. Anak pertamanya diberi nama Sultan Walad, yang kelak juga menjadi seorang sufi dan memperkenalkan beberapa segi kehidupan Jalaluddin Rumi yang unik. Anak keduanya bernama Alauddin, yang merupakan nama saudara laki-laki Jalaluddin Rumi yang meninggal di Konya. Hingga saat itu, tampaknya Rumi tidak begitu berminat pada segi-segi sufistik dari kehidupan dan pemikiran ayahnya.

Setahun kemudian, Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi tiba di Konya. Burhanuddin adalah murid Bahauddin Walad di Balkh. Dengan demikian Rumi adalah anak gurunya. Burhanuddin membimbing Rumi memasuki dunia tasawuf bersama dengan para salik lainnya.

Sekitar 10 tahun di bawah bimbingan Burhanuddin, minat Rumi pada tasawuf dan cinta Ilahi sedemikian bergairah. Dia mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengalami setiap maqam (tingkatan spiritual) kehidupan tasawuf. Maka, setelah Burhanuddin wafat di tahun 1240, Jalaluddin Rumi yang berusia 34 tahun itu diserahi tanggung jawab sebagai guru spiritual (syaikh) persaudaraan sufi. Mulailah dia membangun persaudaraan spiritual dimana para pengikutnya terus bertambah dan lingkup pengaruh penyair sufi ini semakin luas. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian dikenal dengan Tarekat Maulawiyah.

Tahun 1244 M, saat usianya menginjak 37 tahun, Rumi bertemu dengan syekh spiritual lain, yaitu Syamsuddin dari Tabriz, yang mengubahnya menjadi sempurna dalam ilmu tasawuf. Setelah Syamsuddi wafat, Rumi kemudian bertemu dengan Husamuddin Ghalabi, dan mengilhaminya untuk menuliskan pengalaman spiritualnya dalam karyanya monumentalnya Matsnawi-ye Ma’nawi. Ia mendiktekan karyanya tersebut kepada Husamuddin sampai akhir hayatnya pada tahun 1273 M pada usia 66 tahun.

KARYA-KARYA RUMI

Karya-karya Jalaluddin Rumi ditulis dalam bahasa Persia, dan dipandang tinggi oleh orang Persia karena kandungan puitis, kesusastraan dan mistiknya. Sehingga karya-karya ini sering disebut sebagai “al-Qur’an dalam bahasa Pehlevi (bahasa Persia)” [1]

Kitab Matsnawi-i-Manawi (Sajak-sajak Spiritual) merupakan karya utama Jalaluddin — terdiri dari enam kitab (bagian) puisi dan metafora yang bentuk aslinya memiliki kekuatan sedemikian rupa, sehingga pembacaannya bisa menghasilkan suatu kebahagiaan (spiritual) kompleks secara aneh bagi kesadaran pendengarnya.

Karya ini diselesaikan dalam waktu empat puluh tiga tahun. Sebenarnya ia tidak bisa dikritik sebagai karya puisi, sebab mengandung gagasan, bentuk dan penyajian yang pelik dan khas. Mereka yang mencari bait konvensional semata di dalamnya, seperti dinyatakan Profesor Nicholson, harus membolak-balik karya tersebut secara cepat.

Seperti semua karya Sufi, Matsnawi akan beragam pengaruhnya terhadap pendengarnya sesuai dengan kondisi-kondisi dimana karya ini dikaji. Kitab ini memuat lelucon, fabel, pembicaraan, rujukan kepada para mantan guru dan metode-metode yang bisa mengantarkan pada ekstase.

Salah satu puisi Rumi yang diterbitkan dalam Diwan asy-Syams at-Tabriz, telah menyebabkan sejumlah kebingungan bagi kalangan literalis. Karya ini merupakan kajian Rumi terhadap semua bentuk agama yang berlaku, baik agama lama maupun baru. Kesimpulannya bahwa kebenaran esensial terletak pada kesadaran batin manusia itu sendiri, bukan pada hal-hal yang eksternal.

Kumpulan ucapan dan ajarannya yang berjudul Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di Dalamnya) digunakan sebagai buku-buku rujukan para Sufi hingga hari ini.  Di dalam kitab ini kita bisa jumpai uraiannya mengenai transformasi manusia.

“Manusia,” tuturnya, “melewati tiga jenjang. Pada jenjang pertama, ia menyembah apa saja –manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu. Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan. Pada akhirnya, ia tidak berkata, ‘Aku menyembah Tuhan,’ maupun, ‘Aku tidak menyembah Tuhan.’ Ia telah melewati tahapan ketiga.”

CATATAN KAKI

[1] Mahkota Sufi: Maulana Jalaluddin Rumi

PRANALA