Tazkiyatun Nafs - Jihad Akbar Para Salik


Bagi seorang salik (pejalan), tazkiyatun-nafs (pensucian jiwa) adalah jihad akbar sepanjang hidup. Ini adalah peperangan yang rumit dan hampir mustahil untuk dimenangkan. Karena yang dilawan adalah dirinya sendiri, kecenderungan dan tarikan nafsu untuk berbuat kezaliman (sesuatu yang merugikan diri sendiri), kemalasan untuk berbuat kebaikan, dll.

Perihal pensucian jiwa, Allah berfirman dalam Kitab-Nya:

Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, lalu mengingat Tuhannya dan memujaNya. Tetapi kalian mengutamakan kehidupan dunia padahal akhirat lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini ada di dalam Kitab-kitab yang terdahulu, Yaitu Kitab-kitab Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. [QS Al-A’laa: 14-19]

Urusan tazkiyatun-nafs adalah urusan penting dalam perjalanan manusia menuju Tuhan-Nya. Sejak dari jaman Nabi Adam sampai hari kiamat. Itulah sebabnya persoalan ini tercantum dalam setiap Kitab-Nya. Dan adalah tugas para Nabi dan Rasul beserta dengan para Ulama Pewaris Kenabian untuk membimbing umat mereka melakukan jihad akbar ini.

Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah [2] : 151)

Pintu gerbang proses tazkiyatun-nafs adalah taubat. Yang dimaksud taubat adalah ruju’ ilallah (kembali kepada Allah). Seluruh manusia memiliki potensi untuk berbuat kesalahan, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis,

Kullu banii aadam khot-thoo-uun wa khoyrul khoth-thoo-iin at-tawwaabuun (Setiap anak Adam berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah mereka yang kembali kepada Allah SWT (bertaubat). (HR. At Tirmizi)

Taubat adalah upaya bersungguh-sungguh untuk tetap berada di jalan Allah SWT, yakni shirat al-mustaqim. Tatkala ia melenceng dari jalan tersebut maka ia mesti kembali lagi kepada rel kebenaran yang lurus. Ia harus bangkit, dan tidak berdiam diri (menyerah) dalam kemaksiatan yang membelenggunya.

Tatkala seseorang melakukan dosa demi dosa dan tidak mau bertaubat maka hatinya akan semakin keras. Nasihat yang datang berlalu begitu saja, tak berbekas. Kejadian demi kejadian (musibah) tidak menjadi pembelajaran berharga bagi dirinya.

Hal terpenting dari maqam taubat adalah tidak berputus asa dari rahmat Allah. Sudah menjadi kodratnya, jiwa manusia yang pada awalnya suci dititipkan kepada jasad yang terbuat dari tanah liat. Sifat-sifat kebumian kemudian melekat kepadanya.

"Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)." (QS az-Zumar: 53- 54)

Wahai pencari, walaupun telah seratus kali engkau ingkari janjimu, bertaubat, dan bertaubatlah kembali. Karena Rabb telah bersabda, "Ketika engkau sedang mi'raj atau terpuruk di dalam sumur, ingatlah Aku, karena Aku-lah Jalan itu." (Jalaluddin Rumi)

Langkah awal pertaubatan terkait erat dengan "membunuh jiwa-jiwamu", yakni menghilangkan secara perlahan-lahan semua kehendak diri yang berasal dari kehendak berbagai hawa nafsu dan syahwat dalam diri kita, yang tidak bersesuaian dengan kehendak Allah.

Persoalan ini dinyatakan Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ [4] : 66-68.

Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka 'Bunuhlah dirimu (anfus) atau keluarlah dari kampungmu', niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali hanya sebagian kecil saja dari mereka. Dan sesungguhnya seandainya mereka menjalankan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentu hal yang demikian itu akan lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan pijakan. Dan dengan demikian pasti akan Kami berikan kepada mereka balasan yang besar dari sisi Kami, dan pasti akan Kami tunjukkan Shiratal Mustaqim. – Q.S. An-Nisaa' [4]: 66-68

Persoalan diri manusia beserta seluruh dimensi ruhaniyah-nya merupakan persoalan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, proses tazkiyatun-nafs hendaknya dibawah bimbingan Mursyid, yang memang mengemban amanah ilahiah untuk membantu-Nya membersihkan jiwa umat-Nya.[]